KETOGENIK SEBAGAI SARANA PENGOBATAN
EPILEPSY PADA ANAK
Epilepsi merupakan kelainan otak
yang ditandai dengan predisposisi kronik untuk mengalami kejang epileptik
dengan berbagai konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial
yang menyertainya. 1 Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang
paling umum terjadi. Angka kesakitan di seluruh dunia hingga saat ini mencapai
50 juta jiwa. Menurut laporan WHO pada tahun 2017, diperkirakan terdapat 2,4
juta jiwa yang didiagnosis sebagai epilepsi setiap tahunnya di seluruh dunia.
Pada negara dengan pendapatan tinggi, kasus baru epilepsi tiap tahunnya
sebanyak 30-50 kasus per 100.000 jiwa. Sementara di negara dengan pendapatan
menengah dan rendah, angka ini dapat meningkat hingga dua kali lipat. 2 Sejarah
mencatat epilepsi sebagai salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Terdapat
catatan tertulis mengenai penyakit ini yang ditulis pada tahun 4000 SM. Rasa
takut, diskriminasi hingga stigma sosial telah melekat dengan erat pada pasien
epilepsi hingga berabad-abad. Stigma ini terus berlanjut menghantui pasien
epilepsi hingga sekarang dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi
maupun keluarganya. Diskriminasi dan stigma sosial yang dialami pasien epilepsi
lebih sulit ditangani daripada kejangnya sendiri. Stigma yang terjadi dapat
membuat pasien epilepsi ragu untuk mencari pengobatan agar tidak
diindentifikasi mengalami kelainan ini.
Epilepsi dapat ditangani dengan pemberian obat
harian. Penelitian yang dilakukan di beberapa negara berpenghasilan rendah
hingga menengah menunjukkan bahwa kejang pada 70% anak-anak dan dewasa dengan
epilepsi dapat ditangani dengan pemberian obat antiepilepsi. Selain itu,
setelah 2 sampai 5 tahun pemberian obat yang berhasil dan bebas kejang, obat
yang diberikan dapat dihentikan pada 70% anak dan 60% dewasa tanpa diikuti
terulangnya kejang.
Operasi merupakan pilihan terapi
untuk pasien dengan epilepsi fokal yang tidak membaik dengan terapi lain.
Sementara itu, diet ketogenik dapat diberikan kepada pasien epilepsi yang tidak
terkontrol dengan pemberian obat atau operasi tidak dapat dilakukan.
Epilepsi merupakan sekelompok
kelainan dimana terdapat kelainan neurologis dasar yang menyebabkan kecenderungan
kronik untuk mengalami kejang berulang tanpa provokasi. Berdasarkan kriteria
ini, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila dua atau lebih kejang tanpa provokasi terjadi,
atau satu kali kejang yang terjadi pada
seseorang yang memiliki risiko berulang setidaknya 60%, atau (3) satu atau dua
kali kejang yang terjadi pada konteks sindroma epilepsi. Tipe epilepsi paling
sering, yang diderita oleh 6 dari 10 pasien epilepsi, disebut epilepsi
idiopatik dan tidak memiliki sebab yang dapat diidentifikasi. Epilepsi dengan
sebab yang diketahui disebut epilepsi skunder, atau epilepsi simptomatik.
Epilepsi simptomatik dapat terjadi
akibat sebab genetik maupun didapat, ataupun akibat interaksi keduanya. Genetik
merupakan penyebab epilepsi pada kebanyakan kasus dimana terjadi defek pada gen
yang mempengaruhi kanal ion baik secara langsung maupun tidak langsung. Gen-gen
yang mengalami defek dapat berupa gen kanal ion itu sendiri, serta gen-gen
enzim, GABA maupun reseptor yang tergandeng protein G. Selain itu, epilepsi
juga bisa terjadi akibat sebab-sebab didapat misalnya akibat tumor, stroke,
trauma kepala, riwayat infeksi sistem saraf pusat (SSP) dan akibat kerusakan
otak saat persalinan.
30% kasus tumor otak mengalami
epilepsi sementara penderita stroke hanya sekitar 3-4% yang mengalami epilepsi.
Epilepsi dikarakteristikan oleh risiko jangka panjang bangkitan kejang.
Bangkitan yang terjadi dapat berupa bangkitan parsial maupun bangkitan umum. Bangkitan
parsial terjadi akibat kelainan neurologis yang hanya mempengaruhi satu
hemisfer otak. Bangkitan parsial sering didahului oleh perasaan tertentu yang
disebut aura. Aktivitas kejang dapat bermula pada kelompok otot tertentu dan
menyebar ke kelompok otot disekelilingnya, fenomena ini disebut dengan Jacksonian
march. Selain itu juga bisa terjadi automatisasi yaitu aktivitas yang dilakukan
diluar kesadaran berupa gerakan sederhana yang berulang misalnya
mengecap-ngecap bibir atau mencoba mengambil suatu barang.
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan
melalui riwayat klinis yang mendalam. Selain itu, pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG), radiologis, serta pemeriksaan laboratorium dapat
digunakan untuk menentukan jenis epilepsi, sindroma epilepsi, asal dari
bangkitan parsial, serta kejadian kejang non-epilepsi.
Pemberian obat antiepilepsi
merupakan terapi utama untuk kebanyakan pasien dengan epilepsi. Tujuan akhir
terapi adalah mencegah bangkitan kejang secara total tanpa menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan. Pembuatan rencana terapi tergantung pada jenis
kejang, karena beberapa obat antiepilepsi memiliki aktivitas berbeda tergantung
jenis kejang yang terjadi.
Obat-obat antiepilepsi bekerja
terutama dengan memblokade inisiasi maupun penyebaran kejang. Hal ini bisa
terjadi melalui berbagai mekanisme mulai dari inhibisi potensial aksi yang
bergantung pada Na+ (phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, topiramate,
zonisamide, lacosamide, rufinamide), inhibisi kanal Ca2+ yang bergantung
voltase (phenytoin, gabapentin, prehabalin), memfasilitasi pembukaan dari kanal
kalium (ezogabine), pelemahan aktivitas glutamat (lamotrigine, topiramate,
felbamate), meningkatkan fungsi potensial reseptor GABA (valproic acid,
gabapentin, tiagabine), hingga modulasi pelepasan vesikel sinaps
(levetiracetam).
Pemberian obat antiepilepsi harus dimulai pada
pasien dengan kejang berulang yang etiologinya tidak diketahui atau etiologinya
tidak bisa disembuhkan. Carbamazepine, lamotrigine, phenytoin, dan
levetiracetam merupakan obat pilihan utama untuk terapi awal epilepsi bangkitan
parsial. Sementara untuk bangkitan umum, terutama tipe tonik-klonik, obat
pilihan utama untuk terapi awal adalah lamotrigine dan valproic acid. Pemberian
obat antiepilepsi dapat dihentikan secara perlahan apabila pasien bebas kejang
dalam 2 tahun atau lebih.
Sekitar 20-30% pasien dengan epilepsi tetap
mengalami kejang meskipun dengan pemberian berbagai kombinasi obat
antiepilepsi. Pada beberapa kasus, operasi sangatlah efektif untuk mengurangi
frekuensi kejang bahkan memberikan kontrol kejang secara total.
Salah satu terapi nonfarmakologi
yang dapat diberikan untuk pasien yang tidak responsif terhadap pemberian obat
antiepilepsi adalah diet ketogenik.
Salah satu terapi nonfarmakologi
yang dapat diberikan untuk pasien yang tidak responsif terhadap pemberian obat
antiepilepsi adalah diet ketogenik. Diet ini merupakan diet spesial tinggi
lemak dan rendah karbohidrat yang dapat membantu mengontrol kejang pada
beberapa penderita epilepsi.10 Sejak 1920, jenis diet telah dikenal sebagai
terapi efektif untuk epilepsi berat pada anak. Namun, menyusul pengenalan obat
antikonvulsan, ketertarikan terhadap terapi nonfarmakologi ini menurun.
Ketertarikan pada jenis diet ini naik lagi pada tahun 1990-an dimana berbagai
penelitian menunjukan kegunaan praktisnya.
Saat ini, beberapa tipe diet
ketogenik digunakan pada terapi epilepsi. Tipe yang paling sering digunakan
adalah diet ketogenik yang dikenalkan oleh Wilder pada tahun 1921, dengan
pemberian lemak jenuh rantai panjang serta protein dan karbohidrat dalam
persentase yang rendah. Protokol ini, seperti yang diterapkan pada Johns
Hopkins Hospital, terdiri dari lemak dalam rasio 4:1 dengan gabungan protein
dan karbohidrat. Pada jenis protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan
dipuasakan selama 24 jam sebelum memulai diet. Selain itu juga terdapat tipe
diet yang menggunakan trigliserida rantai sedang serta tipe diet yang
menggunakan gabungan antara diet lemak jenuh rantai panjang dan diet
trigliserida rantai sedang.
Diet ketogenik trigliserida rantai
panjang memberikan nutrisi berupa 3-4 gram lemak untuk setiap 1 gram
karbohidrat dan protein. Total kalori yang diberikan pada diet ketogenik
disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien. Sumber lemak yang digunakan pada
diet ini berupa mentega, krim kocok kental, mayonnaise, maupun berbagai jenis
minyak[1]minyakan.
Karena jumlah karbohidrat dan lemak pada diet ini sangat dibatasi, maka penyiapan
makanan harus dilakukan dengan sangat hati[1]hati. Biasanya
seorang ahli gizi akan memonitor pemberian diet ini.
Diet ketogenik diperkirakan
menstimulasi efek metabolik dari kelaparan dengan memaksa tubuh kita
menggunakan lemak sebagai sumber energi utama. Sistem saraf pusat tidak dapat
menggunakan lemak sebagai sumber energi, oleh karenanya secara normal glukosa
merupakan sumber energi utama. Setelah 3-4 hari tanpa konsumsi karbohidrat, SSP
"dipaksa" untuk menemukan sumber energi alternatif yang didapatkan
dari produksi berlebih acetyl coenzyme A (CoA). Kondisi ini menyebabkan
produksi badan keton dalam jumlah diatas normal oleh hati. Dalam kondisi
produksi berlebihan, asam asetoasetat akan berakumulasi dalam jumlah diatas
normal dan sebagian akan dikonversi menjadi beta[1]hidroksibutirat dan
aseton yang menyebabkan ketonemia dan ketonuria.
Dalam kondisi normal, konsentrasi
badan keton (>0.3 mmol/l) sangatlah rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4
mmol). Dan karena glukosa
dan badan keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke otak, benda
keton mulai digunakan sebagai sumber energi utama saat konsentrasinya sekitar 4
mmol/l. Selanjutnya benda keton digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui
jalur yang membentuk dua molekul asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil
KoA yang dihasilkan akan digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan
dari benda keton lebih besar dibanding glukosa.
Berbagai penelitian telah dilakukan
untuk memahami bagaimana ketosis dapat mempengaruhi epilepsi namun sampai saat
ini masih belum jelas. Beberapa hipotesis yang mungkin bisa menjelaskan
mekanisme kerja dari diet ketogenik antara lain: (1) efek antikonvulsan
langsung dari badan keton; (2) penurunan eksitabilitas neuronal yang diinduksi
oleh badan keton; dan (3) efek pada jalur mamalian target of rapamycin (mTOR).
Beberapa penelitian menunjukkan
efektivitas dari diet ketogenik. Raju 2011 melaporkan 26% (5/19) partisipan
bebas kejang dan 58% (11/19) partisipan mengalami penurunan frekuensi bangkitan
kejang lebih dari 50% setelah pemberian diet ketogenik jenis 4:1 selama 3
bulan.16 Sementara itu, Seo 2007 melaporkan sebanyak 55% (22/40) dari
partisipan mengalami bebas kejang dan sebanyak 85% (34/40) partisipan mengalami
penurunan kejang melebihi 50% pada pemberian jenis diet ketogenik dan durasi
pemberian yang sama.
Kelemahan utama diet ini adalah
rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout. Dropout terjadi terutama
akibat timbulnya berbagai efek samping gastrointestinal dan kesulitan konsumsi
diet dikarenakan citarasa yang kurang menggugah selera. Efek samping
gastrointestinal yang paling sering muncul berupa mual, muntah, konstipasi dan
diare.
Dalam jurnal lain juga mengatakan “73 anak dirandom untuk menerima diet
ketogenik dan 72 anak sebagai kelompok kontrol. Hanya data dari 103 anak dapat
di analisis: terdiri 54 anak kelompok diet ketogenic dan 49 anak kelompok
kontrol. Anak yang tidak menyelesaikan penelitian, terdiri 16 anak tidak
menerima intervensi, 16 anak tidak didapatkan cukup data, dan 10 anak
mengundurkan diri dari pengobatan sebelum 3 bulan, 6 diantaranya karena
intoleransi. Setelah 3 bulan, persentase rata−rata kejang secara signifikan
lebih rendah pada kelompok diet ketogenic dibandingkan kelompok kontrol (62% vs
136,9%, penurunan 75%, CI 95% : 42,4−107,4%; p<0,0001). 28 anak (38%)
kelompok diet ketogenik terdapat penurunan kejang >50% dibandingkan 4 anak
(6%) kelompok kontrol (p<0,0001), dan 5 anak (7%) pada kelompok diet
ketogenik terdapat penurunan kejang >90% dibandingkan kelompok kontrol (0) (p=0,0582).
Tidak ada perbedaan signifikan dari efikasi diet ketogenik antara sindrom epilepsy
umum simptomatik atau fokal simptomatik. Efek samping paling sering yang dilaporkan
setelah 3 bulan adalah konstipasi, muntah, kurang energi, dan kelaparan. Hasil
dari penelitian ini mendukung penggunaan diet ketogenik pada anak dengan epilepsy
intractable.”
“Mas Tyo menemukan jurnal keluaran
tahun 1934 yang membahas tentang hubungan keton dan kejang/epilepsy
seizure pada anak-anak. Anak yang kejang terus, pada saat dia tidak bisa makan
malah kejangnya hilang. Setelah diteliti mereka menemukan keton pada darah anak-anak
tersebut. Dari situ mereka jadi mengerti, ketiadaan karbo menyebabkan munculnya
keton. Lalu mereka mulai mempelajari lagi mengenai hubungan keton dan karbo,
setelah melewati proses modifikasi lahirlah diet ketogenic. Dulu rasionya 4:1,
artinya lemak tingginya 4 kali lipat, protein 1. Tujuannya agar bisa segera
menghasilkan keton. Untuk anak-anak yang kejang itu, terapi yang diberikan
adalah memberikan diet tinggi lemak dan rendah karbo agar ketonnya tidak
hilang. Bahkan awalnya, untuk menjalankan diet ketogenik pun anak-anak itu
dipuasakan terlebih dahulu supaya ketosisnya tinggi dan seizure turun. Berangkat
dari jurnal-jurnal tersebut Mas Tyo menyimpulkan, keton lah yang dibutuhkan
oleh Alif. Sejak itu Mas Tyo menerapkan pola makan ketogenik pada Alif. Makan
pendamping ASI buat Alif diberikan setelah dia berhenti menyusu full ASI di
usia 3 tahun. Makanan Alif sejak dulu masih sama hingga sekarang. Dia makan
telur, salmon, rebusan ceker ayam tanpa bumbu, yang banyak hanya sedikit garam
dan bawang putih saja ditambah tahu lalu diblender. Pernah suatu hari Alif
dikasih brokoli dalam makanannya, sontak dia mengalami kejang dan muntah.
Karena Lina takut, hingga saat ini Alif tidak pernah diberikan sayur. Buah pun
hanya alpukat saja. Sejak bayi Alif tidak pernah diberikan sayur, apalagi sejak
pengalaman diberi brokoli saat itu. Vitamin, protein dan lemak diperoleh dari
telur, ikan, daging, kaldu ayam, dan lain-lain. Semua tercukupi tanpa sayur.
Nabati dari tahu dan tempe berfungsi sebagai emulsifier saat memblender
makanan. Kondisi Alif stabil dan sangat baik.” Cerita itu saya ambil dari buku
“SEMUA BERAWAL DARI ALIF Biografi Seorang Guru” buku itu menceritakan kisah
nyata Mas Tyo yang memiliki anak yang mengidap epilepsy.
Oleh karena itu Terapi
nonfarmakologis yang dapat diberikan pada epilepsi yang tidak berespon terhadap
pemberian obat adalah diet ketogenic yang merupakan diet spesial tinggi lemak
dan rendah karbohidrat. Diet ini akan menciptakan keadaan ketosis yang dapat
menurunkan frekuensi bangkitan epilepsi melalui beberapa cara yaitu: (1) efek
antikonvulsif badan keton; (2) penurunan eksitabilitas neuron oleh badan keton;
dan (3) melalui efek pada jalur mTOR. Efektivitas diet ketogenik didukung kuat
oleh berbagai penelitian yang menunjukkan penurunan kejadian kejang. Sementara
itu, kelemahan dari diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka
dropout.
Efektivitas diet ketogenik didukung
dengan kuat oleh berbagai penelitian. Namun, kelemahan dari diet ini adalah
rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout. Mengingat hasil diet
ketogenik yang sangat baik dan berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai obat antiepilepsi, pengembangan diet ketogenik yang lebih mudah
digunakan
Sumber
·
tent/uploads/2013/11/Pustaka_Unpad_TATALAKSANA_DIIT_KETOGENIK1.pdf1.pdf
·
https://www.tokopedia.com/maknasara/buku-biografi-berawal-dari-alif
· https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/1756/1713
Penulis: Fayyadh Raya Andalusia
Editor: Andalusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar