Rabu, 30 November 2022

KETOGENIK SEBAGAI SARANA PENGOBATAN EPILEPSY PADA ANAK

 

 

KETOGENIK SEBAGAI SARANA PENGOBATAN EPILEPSY PADA ANAK

Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan predisposisi kronik untuk mengalami kejang epileptik dengan berbagai konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial yang menyertainya. 1 Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang paling umum terjadi. Angka kesakitan di seluruh dunia hingga saat ini mencapai 50 juta jiwa. Menurut laporan WHO pada tahun 2017, diperkirakan terdapat 2,4 juta jiwa yang didiagnosis sebagai epilepsi setiap tahunnya di seluruh dunia. Pada negara dengan pendapatan tinggi, kasus baru epilepsi tiap tahunnya sebanyak 30-50 kasus per 100.000 jiwa. Sementara di negara dengan pendapatan menengah dan rendah, angka ini dapat meningkat hingga dua kali lipat. 2 Sejarah mencatat epilepsi sebagai salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Terdapat catatan tertulis mengenai penyakit ini yang ditulis pada tahun 4000 SM. Rasa takut, diskriminasi hingga stigma sosial telah melekat dengan erat pada pasien epilepsi hingga berabad-abad. Stigma ini terus berlanjut menghantui pasien epilepsi hingga sekarang dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi maupun keluarganya. Diskriminasi dan stigma sosial yang dialami pasien epilepsi lebih sulit ditangani daripada kejangnya sendiri. Stigma yang terjadi dapat membuat pasien epilepsi ragu untuk mencari pengobatan agar tidak diindentifikasi mengalami kelainan ini.

 Epilepsi dapat ditangani dengan pemberian obat harian. Penelitian yang dilakukan di beberapa negara berpenghasilan rendah hingga menengah menunjukkan bahwa kejang pada 70% anak-anak dan dewasa dengan epilepsi dapat ditangani dengan pemberian obat antiepilepsi. Selain itu, setelah 2 sampai 5 tahun pemberian obat yang berhasil dan bebas kejang, obat yang diberikan dapat dihentikan pada 70% anak dan 60% dewasa tanpa diikuti terulangnya kejang.

Operasi merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan epilepsi fokal yang tidak membaik dengan terapi lain. Sementara itu, diet ketogenik dapat diberikan kepada pasien epilepsi yang tidak terkontrol dengan pemberian obat atau operasi tidak dapat dilakukan.

Epilepsi merupakan sekelompok kelainan dimana terdapat kelainan neurologis dasar yang menyebabkan kecenderungan kronik untuk mengalami kejang berulang tanpa provokasi. Berdasarkan kriteria ini, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila  dua atau lebih kejang tanpa provokasi terjadi, atau  satu kali kejang yang terjadi pada seseorang yang memiliki risiko berulang setidaknya 60%, atau (3) satu atau dua kali kejang yang terjadi pada konteks sindroma epilepsi. Tipe epilepsi paling sering, yang diderita oleh 6 dari 10 pasien epilepsi, disebut epilepsi idiopatik dan tidak memiliki sebab yang dapat diidentifikasi. Epilepsi dengan sebab yang diketahui disebut epilepsi skunder, atau epilepsi simptomatik.

Epilepsi simptomatik dapat terjadi akibat sebab genetik maupun didapat, ataupun akibat interaksi keduanya. Genetik merupakan penyebab epilepsi pada kebanyakan kasus dimana terjadi defek pada gen yang mempengaruhi kanal ion baik secara langsung maupun tidak langsung. Gen-gen yang mengalami defek dapat berupa gen kanal ion itu sendiri, serta gen-gen enzim, GABA maupun reseptor yang tergandeng protein G. Selain itu, epilepsi juga bisa terjadi akibat sebab-sebab didapat misalnya akibat tumor, stroke, trauma kepala, riwayat infeksi sistem saraf pusat (SSP) dan akibat kerusakan otak saat persalinan.

30% kasus tumor otak mengalami epilepsi sementara penderita stroke hanya sekitar 3-4% yang mengalami epilepsi. Epilepsi dikarakteristikan oleh risiko jangka panjang bangkitan kejang. Bangkitan yang terjadi dapat berupa bangkitan parsial maupun bangkitan umum. Bangkitan parsial terjadi akibat kelainan neurologis yang hanya mempengaruhi satu hemisfer otak. Bangkitan parsial sering didahului oleh perasaan tertentu yang disebut aura. Aktivitas kejang dapat bermula pada kelompok otot tertentu dan menyebar ke kelompok otot disekelilingnya, fenomena ini disebut dengan Jacksonian march. Selain itu juga bisa terjadi automatisasi yaitu aktivitas yang dilakukan diluar kesadaran berupa gerakan sederhana yang berulang misalnya mengecap-ngecap bibir atau mencoba mengambil suatu barang.

Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan melalui riwayat klinis yang mendalam. Selain itu, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG), radiologis, serta pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menentukan jenis epilepsi, sindroma epilepsi, asal dari bangkitan parsial, serta kejadian kejang non-epilepsi.

Pemberian obat antiepilepsi merupakan terapi utama untuk kebanyakan pasien dengan epilepsi. Tujuan akhir terapi adalah mencegah bangkitan kejang secara total tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Pembuatan rencana terapi tergantung pada jenis kejang, karena beberapa obat antiepilepsi memiliki aktivitas berbeda tergantung jenis kejang yang terjadi.

Obat-obat antiepilepsi bekerja terutama dengan memblokade inisiasi maupun penyebaran kejang. Hal ini bisa terjadi melalui berbagai mekanisme mulai dari inhibisi potensial aksi yang bergantung pada Na+ (phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, topiramate, zonisamide, lacosamide, rufinamide), inhibisi kanal Ca2+ yang bergantung voltase (phenytoin, gabapentin, prehabalin), memfasilitasi pembukaan dari kanal kalium (ezogabine), pelemahan aktivitas glutamat (lamotrigine, topiramate, felbamate), meningkatkan fungsi potensial reseptor GABA (valproic acid, gabapentin, tiagabine), hingga modulasi pelepasan vesikel sinaps (levetiracetam).

 Pemberian obat antiepilepsi harus dimulai pada pasien dengan kejang berulang yang etiologinya tidak diketahui atau etiologinya tidak bisa disembuhkan. Carbamazepine, lamotrigine, phenytoin, dan levetiracetam merupakan obat pilihan utama untuk terapi awal epilepsi bangkitan parsial. Sementara untuk bangkitan umum, terutama tipe tonik-klonik, obat pilihan utama untuk terapi awal adalah lamotrigine dan valproic acid. Pemberian obat antiepilepsi dapat dihentikan secara perlahan apabila pasien bebas kejang dalam 2 tahun atau lebih.

 Sekitar 20-30% pasien dengan epilepsi tetap mengalami kejang meskipun dengan pemberian berbagai kombinasi obat antiepilepsi. Pada beberapa kasus, operasi sangatlah efektif untuk mengurangi frekuensi kejang bahkan memberikan kontrol kejang secara total.

Salah satu terapi nonfarmakologi yang dapat diberikan untuk pasien yang tidak responsif terhadap pemberian obat antiepilepsi adalah diet ketogenik.

Salah satu terapi nonfarmakologi yang dapat diberikan untuk pasien yang tidak responsif terhadap pemberian obat antiepilepsi adalah diet ketogenik. Diet ini merupakan diet spesial tinggi lemak dan rendah karbohidrat yang dapat membantu mengontrol kejang pada beberapa penderita epilepsi.10 Sejak 1920, jenis diet telah dikenal sebagai terapi efektif untuk epilepsi berat pada anak. Namun, menyusul pengenalan obat antikonvulsan, ketertarikan terhadap terapi nonfarmakologi ini menurun. Ketertarikan pada jenis diet ini naik lagi pada tahun 1990-an dimana berbagai penelitian menunjukan kegunaan praktisnya.

Saat ini, beberapa tipe diet ketogenik digunakan pada terapi epilepsi. Tipe yang paling sering digunakan adalah diet ketogenik yang dikenalkan oleh Wilder pada tahun 1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang serta protein dan karbohidrat dalam persentase yang rendah. Protokol ini, seperti yang diterapkan pada Johns Hopkins Hospital, terdiri dari lemak dalam rasio 4:1 dengan gabungan protein dan karbohidrat. Pada jenis protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan dipuasakan selama 24 jam sebelum memulai diet. Selain itu juga terdapat tipe diet yang menggunakan trigliserida rantai sedang serta tipe diet yang menggunakan gabungan antara diet lemak jenuh rantai panjang dan diet trigliserida rantai sedang.

Diet ketogenik trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-4 gram lemak untuk setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Total kalori yang diberikan pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien. Sumber lemak yang digunakan pada diet ini berupa mentega, krim kocok kental, mayonnaise, maupun berbagai jenis minyak[1]minyakan. Karena jumlah karbohidrat dan lemak pada diet ini sangat dibatasi, maka penyiapan makanan harus dilakukan dengan sangat hati[1]hati. Biasanya seorang ahli gizi akan memonitor pemberian diet ini.

Diet ketogenik diperkirakan menstimulasi efek metabolik dari kelaparan dengan memaksa tubuh kita menggunakan lemak sebagai sumber energi utama. Sistem saraf pusat tidak dapat menggunakan lemak sebagai sumber energi, oleh karenanya secara normal glukosa merupakan sumber energi utama. Setelah 3-4 hari tanpa konsumsi karbohidrat, SSP "dipaksa" untuk menemukan sumber energi alternatif yang didapatkan dari produksi berlebih acetyl coenzyme A (CoA). Kondisi ini menyebabkan produksi badan keton dalam jumlah diatas normal oleh hati. Dalam kondisi produksi berlebihan, asam asetoasetat akan berakumulasi dalam jumlah diatas normal dan sebagian akan dikonversi menjadi beta[1]hidroksibutirat dan aseton yang menyebabkan ketonemia dan ketonuria.

Dalam kondisi normal, konsentrasi badan keton (>0.3 mmol/l) sangatlah rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4 mmol). Dan karena glukosa dan badan keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke otak, benda keton mulai digunakan sebagai sumber energi utama saat konsentrasinya sekitar 4 mmol/l. Selanjutnya benda keton digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui jalur yang membentuk dua molekul asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil KoA yang dihasilkan akan digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan dari benda keton lebih besar dibanding glukosa.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami bagaimana ketosis dapat mempengaruhi epilepsi namun sampai saat ini masih belum jelas. Beberapa hipotesis yang mungkin bisa menjelaskan mekanisme kerja dari diet ketogenik antara lain: (1) efek antikonvulsan langsung dari badan keton; (2) penurunan eksitabilitas neuronal yang diinduksi oleh badan keton; dan (3) efek pada jalur mamalian target of rapamycin (mTOR).

Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas dari diet ketogenik. Raju 2011 melaporkan 26% (5/19) partisipan bebas kejang dan 58% (11/19) partisipan mengalami penurunan frekuensi bangkitan kejang lebih dari 50% setelah pemberian diet ketogenik jenis 4:1 selama 3 bulan.16 Sementara itu, Seo 2007 melaporkan sebanyak 55% (22/40) dari partisipan mengalami bebas kejang dan sebanyak 85% (34/40) partisipan mengalami penurunan kejang melebihi 50% pada pemberian jenis diet ketogenik dan durasi pemberian yang sama.

Kelemahan utama diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout. Dropout terjadi terutama akibat timbulnya berbagai efek samping gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet dikarenakan citarasa yang kurang menggugah selera. Efek samping gastrointestinal yang paling sering muncul berupa mual, muntah, konstipasi dan diare.

Dalam jurnal lain juga mengatakan  “73 anak dirandom untuk menerima diet ketogenik dan 72 anak sebagai kelompok kontrol. Hanya data dari 103 anak dapat di analisis: terdiri 54 anak kelompok diet ketogenic dan 49 anak kelompok kontrol. Anak yang tidak menyelesaikan penelitian, terdiri 16 anak tidak menerima intervensi, 16 anak tidak didapatkan cukup data, dan 10 anak mengundurkan diri dari pengobatan sebelum 3 bulan, 6 diantaranya karena intoleransi. Setelah 3 bulan, persentase rata−rata kejang secara signifikan lebih rendah pada kelompok diet ketogenic dibandingkan kelompok kontrol (62% vs 136,9%, penurunan 75%, CI 95% : 42,4−107,4%; p<0,0001). 28 anak (38%) kelompok diet ketogenik terdapat penurunan kejang >50% dibandingkan 4 anak (6%) kelompok kontrol (p<0,0001), dan 5 anak (7%) pada kelompok diet ketogenik terdapat penurunan kejang >90% dibandingkan kelompok kontrol (0) (p=0,0582). Tidak ada perbedaan signifikan dari efikasi diet ketogenik antara sindrom epilepsy umum simptomatik atau fokal simptomatik. Efek samping paling sering yang dilaporkan setelah 3 bulan adalah konstipasi, muntah, kurang energi, dan kelaparan. Hasil dari penelitian ini mendukung penggunaan diet ketogenik pada anak dengan epilepsy intractable.”

“Mas Tyo menemukan jurnal keluaran tahun 1934 yang membahas tentang hubungan keton dan kejang/epilepsy seizure pada anak-anak. Anak yang kejang terus, pada saat dia tidak bisa makan malah kejangnya hilang. Setelah diteliti mereka menemukan keton pada darah anak-anak tersebut. Dari situ mereka jadi mengerti, ketiadaan karbo menyebabkan munculnya keton. Lalu mereka mulai mempelajari lagi mengenai hubungan keton dan karbo, setelah melewati proses modifikasi lahirlah diet ketogenic. Dulu rasionya 4:1, artinya lemak tingginya 4 kali lipat, protein 1. Tujuannya agar bisa segera menghasilkan keton. Untuk anak-anak yang kejang itu, terapi yang diberikan adalah memberikan diet tinggi lemak dan rendah karbo agar ketonnya tidak hilang. Bahkan awalnya, untuk menjalankan diet ketogenik pun anak-anak itu dipuasakan terlebih dahulu supaya ketosisnya tinggi dan seizure turun. Berangkat dari jurnal-jurnal tersebut Mas Tyo menyimpulkan, keton lah yang dibutuhkan oleh Alif. Sejak itu Mas Tyo menerapkan pola makan ketogenik pada Alif. Makan pendamping ASI buat Alif diberikan setelah dia berhenti menyusu full ASI di usia 3 tahun. Makanan Alif sejak dulu masih sama hingga sekarang. Dia makan telur, salmon, rebusan ceker ayam tanpa bumbu, yang banyak hanya sedikit garam dan bawang putih saja ditambah tahu lalu diblender. Pernah suatu hari Alif dikasih brokoli dalam makanannya, sontak dia mengalami kejang dan muntah. Karena Lina takut, hingga saat ini Alif tidak pernah diberikan sayur. Buah pun hanya alpukat saja. Sejak bayi Alif tidak pernah diberikan sayur, apalagi sejak pengalaman diberi brokoli saat itu. Vitamin, protein dan lemak diperoleh dari telur, ikan, daging, kaldu ayam, dan lain-lain. Semua tercukupi tanpa sayur. Nabati dari tahu dan tempe berfungsi sebagai emulsifier saat memblender makanan. Kondisi Alif stabil dan sangat baik.” Cerita itu saya ambil dari buku “SEMUA BERAWAL DARI ALIF Biografi Seorang Guru” buku itu menceritakan kisah nyata Mas Tyo yang memiliki anak yang mengidap epilepsy.

            Oleh karena itu Terapi nonfarmakologis yang dapat diberikan pada epilepsi yang tidak berespon terhadap pemberian obat adalah diet ketogenic yang merupakan diet spesial tinggi lemak dan rendah karbohidrat. Diet ini akan menciptakan keadaan ketosis yang dapat menurunkan frekuensi bangkitan epilepsi melalui beberapa cara yaitu: (1) efek antikonvulsif badan keton; (2) penurunan eksitabilitas neuron oleh badan keton; dan (3) melalui efek pada jalur mTOR. Efektivitas diet ketogenik didukung kuat oleh berbagai penelitian yang menunjukkan penurunan kejadian kejang. Sementara itu, kelemahan dari diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout.

Efektivitas diet ketogenik didukung dengan kuat oleh berbagai penelitian. Namun, kelemahan dari diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout. Mengingat hasil diet ketogenik yang sangat baik dan berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh berbagai obat antiepilepsi, pengembangan diet ketogenik yang lebih mudah digunakan

 

Sumber

·        tent/uploads/2013/11/Pustaka_Unpad_TATALAKSANA_DIIT_KETOGENIK1.pdf1.pdf

·        https://www.tokopedia.com/maknasara/buku-biografi-berawal-dari-alif

·        https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/1756/1713


Penulis: Fayyadh Raya Andalusia

Editor: Andalusia


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Lagu Pluto Projector By Rex Orange County

  Artis: Rex Orange County Dirilis: 2019 Album: Pony Genre: Alternatif/Indie Rsensi Lagu: Lagu ‘Pluto Projector’ milik Rex Orange ...