Judul
Buku : Laut Bercerita
Penulis
Buku : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia)
Tahun
Terbit : 2017
Jumlah
Halaman : 379
ISBN : 978-602-424-694-5
Dalam
buku ini, Leila S. Chudori mengundang kita untuk menyelami kasus penghilangan orang
secara paksa. Buku bergenre fiksi historis ini terdiri atas dua bagian. Bagian
pertama mengambil sudut pandang seorang mahasiswa aktivis bernama Laut,
menceritakan bagaimana Laut dan kawan-kawannya menyusun rencana,
berpindah-pindah dalam pelarian, hingga tertangkap oleh pasukan rahasia.
Sedangkan bagian kedua dikisahkan oleh Asmara, adik Laut. Bagian kedua mewakili
perasaan keluarga korban penghilangan paksa, bagaimana pencarian mereka
terhadap kerabat mereka yang tak pernah kembali. Juga tentang perasaan para
korban selamat, bagaimana terpenjara nya mereka atas kejadian tersebut. penulis
sendiri mewawancara langsung korban dan kerabat yang terlibat tragedi penculikan
aktivis tahun 1998. Bahkan buku ini ditulis sebagai bentuk tribute bagi para aktivis
yang diculik, yang kembali.
Sinopsis :
“Matilah engkau mati Kau akan
lahir berkali-kali…”
Begitulah dua larik puisi yang
menyambut kita di lembar pertama. Biru Laut Wibisono mulai bercerita kepada
kita bagaimana ia menemui kematian setelah tiga bulan disekap.
“Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan
kawan-kawan… dengarkan ceritaku…”
Ia memulai kisah di tahun 1991
pada sebuah tempat bernama Seyegan, Yogyakarta. Seyegan tak lain merupakan
markas Wirasena (organisasi mahasiswa) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang. Terkisahlah kehidupan
persahabatan antara Laut, Alex, Sunu, Daniel, Kinan, Julius, Dana, dan Gusti,
serta aktivis-aktivis lainnya. Pada bab Seyegan, Laut bercerita tentang
ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan
saat itu. Terkadang ia berkisah bagaimana indahnya keluarga dan rindunya pada
Asmara (adik semata wayang) dan Anjani (kekasih) tiba-tiba hadir bersama aroma
tengkleng buatan Ibu dalam imajinasinya.
Peristiwa Blangguan, demi membela
petani-petani jagung yang lahannya akan dirampas pemerintah, menjebloskan Laut
ke dalam penjara. Ia dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sesuatu bergerigi,
dan disetrum. Setelah mereka tak mendapat jawaban, Laut dan kawan-kawannya
dibuang begitu saja di Bungurasih.
“Di kampus kita hanya belajar
disiplin berpikir, tetapi pengalaman yang memberi daya dalam hidup adalah di
lapangan.” –Bram
Seringnya aktivitas-aktivitas
mereka bocor kepada intel, seperti peristiwa Blangguan, demo di Surabaya,
aktivitas di Klender dan acara seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal,
membuat Laut dan kawan-kawannya mencurigai Naratama sebagai agen ganda. Hingga
pada sepertiga ujung cerita, terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda tersebut.
Laut pun bercerita bagaimana sakitnya ia dikhianati dari orang yang tak pernah
terduga sebelumnya.
“Kita harus belajar kecewa bahwa
orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita
tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan
persahabatan.” –Bram
Bulan Maret 1998 giliran mereka
(para aktivis Wirasena) diculik, disiksa, dan diinterogasi dengan tidak
manusiawi. Laut, Sunu, Kinan, Bram, Sang Penyair, dan beberapa kawan hilang
tanpa jejak setelah disekap. Merek, yaitu Alex, Daniel, Naratama, Coki, Hamdan,
dan lima orang lainnya dikembalikan masih dalam keadaan hidup. Hingga saat
rezim itu runtuh di Mei 1998, mereka mulai mampu bersuara atas kekejaman yang
mereka terima.
“Setiap langkahmu, langkah kita,
apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi,
Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi,
tapi apapun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah.
Sebuah baris dari puisimu, sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu.” –Kinan
Cerita kemudian berlanjut dari
sudut pandang Asmara Jati, adik dari Biru Laut dan kekasih Alex. Sebagai
keluarga yang ditinggalkan sang kakak secara misterius, mereka sangat
kehilangan. Kisah Asmara pun dimulai tahun 2000-an. Bersama keluarga
aktivis-aktivis lainnya, Asmara bergabung dengan Aswin dan mencoba mencari
keadilan pada pemerintah yang dirasa lebih peduli. Duka kehilangan membuat
banyak keluarga hidup dalam penyangkalan. Mereka hidup dalam imajinasi dimana
keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian. Ayah mereka masih
tetap menyiapkan empat piring dalam ritual makan malam bersama di hari Minggu.
Memutar lagu yang menandai kehadiran Laut, membersihkan buku-buku dan kamar
milik Laut, seolah-olah Laut akan datang secara tiba-tiba kelak.
Keunggulan :
Buku
ini memberikan kita informasi mengenai kondisi HAM di Indonesia pada masa Orde
Baru yang begitu miris, buku ini juga juga mengulas sejarah kelam yang tak
tercatat dalam buku sekolah. Banyaknya tokoh dan karya literasi yang disebut di
dalam buku ini juga dapat menjadi wawasan tambahan bagi pembaca,
kutipan-kutipan bermakna di padukan dengan majas yang indah, membuat pembaca
dapat merasakan emosi dari para tokoh. Alur maju mundur tiap bab yang digunakan
tidak membuat pembaca bingung dan tidak merasakan “nanggung” ketika membaca,
karena transisi antar alur di buat pas.
Kelemahan :
Dalam
novel ini terdapat banyak bagian mengenai tokoh biru laut yang bercerita
mengenai makanan, bagaimana kondisi ketika Ia atau kedua orangtunya sedang
memasak, bagian ini terlalu banyak diperlihatkan di dalam cerita sehingga
membuat pembaca menjadi bosan.
Penutup :
Buku
ini memberikan perasaan sedih, emosional yang campur aduk, memberi hikmah agar
teguh dengan pendirian, pantang menyerah, setia kawan, pantang berkhianat, dan
memotivasi kita agar berjuang untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Walaupun termasuk dalam genre fiksi, novel ini tetap terasa nyata karena memang
penculikan aktivis yang terajadi di dalam cerita memang benar terajadi. Novel
ini cocok dinikmati oleh kalangan mahasiswa khususnya mahasiswa yang mengikuti
organisasi-organisasi mahasiswa. Cerita yang penuh dengan emosi dipadukan
dengan majas-majas yang indah membuat novel ini akan terus membekas di hati
para pembaca.
Penulis: Andi Ahmad Abrar Sao-Sao
Editor: Alya Febriana Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar