Pada tanggal 15-16 November 2022, Indonesia menjadi tuan rumah dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dengan tagline, “Recover Together, Recover Stronger”. Diketahui bahwa G20 atau Group of Twenty merupakan sebuah forum kerja sama ekonomi yang beranggotakan 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan 1 lembaga Uni Eropa. G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Pembentukan G20 pada tahun 1999 timbul akibat kekecewaan masyarakat internasional terhadap G7 dalam mencari solusi permasalahan perekonomian global yang dihadapi saat itu. Sehingga, muncul pandangan bahwa negara-negara berpendapatan menengah juga perlu diikutsertakan dalam forum untuk mencari solusi pertumbuhan ekonomi global. Forum tersebut selanjutnya merangkul negara berkembang dan negara maju untuk bersama-sama mengatasi krisis ekonomi global. Adapun tujuan G20 adalah mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Meski memiliki tujuan yang begitu mulia, di sisi lain, KTT G20 tahun ini juga menjadi salah satu pertemuan multilateral yang paling kontroversial. Sebab, beberapa isu politik internasional diperkirakan akan menjadi fokus pembahasan di pertemuan tersebut, diantaranya seperti Perang Rusia-Ukraina, inflasi yang mulai terjadi di sejumlah negara, dan perang mikrocip antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok. Pertemuan ini diperkirakan akan menjadi tempat benturan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara besar. Meski begitu, Presiden Jokowi pernah menegaskan bahwa KTT G20 tidak akan menjadi pertemuan yang berfokus pada masalah-masalah politik internasional karena G20 dimaksudkan untuk ekonomi dan pembangunan. Namun, keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022 telah membuat pemahaman umum kita soal G20 berubah. Alih-alih menjadi forum ekonomi, G20 yang dilaksanakan di Bali, Indonesia, justru lebih terasa sebagai forum politik.
Pengamat
politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, berpendapat bahwa pertemuan G20
dibuat untuk kepentingan negara-negara besar di dunia. Jika kita melihat
sejarah pendiriannya, forum ini memang diciptakan untuk menjadi forum yang
dapat menciptakan konsensus (kesepakatan bersama) dari para negara-negara dengan
ekonomi paling berpengaruh untuk mencegah krisis ekonomi dunia tahun 1997 dan
2008 terulang kembali. Dalam pertemuan G20 yang terakhir di Roma, Italia.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres kecewa karena
ekspektasinya dalam pertemuan tersebut tidak bisa diwujudkan. Terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan G20 di Roma tidak berjalan sesuai harapan yaitu :
Absennya RRT, Ketegangan diantara negara-negara maju & tidak tercapainya
perubahan positif perekonomian dunia. Berdasarkan tiga faktor tersebut,
meskipun G20 selalu disebutkan sebagai forum yang fokus membahas ekonomi dan mencoba
mengesampingkan politik, kenyataannya kepentingan politik selalu mempengaruhi
pertemuan-pertemuan G20, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan selama
hal itu masih belum bisa dipisahkan, maka sesuatu yang dapat berguna untuk
kepentingan banyak tidak akan terjadi, apalagi jika hal tersebut menuntut
adanya pengorbanan dari suatu pihak.
Ada
hal menarik tentang G20 yaitu meskipun terdapat sejumlah tantangan yang membuat
G20 menjadi tidak efektif, ada satu hal yang membuatnya unik dibanding pertemuan-pertemuan
internasional lainnya yaitu fleksibilitas pertemuan. Hal tersebut merupakan
kekuatan G20, karena pertemuan di forum-forum internasional lain umumnya tidak
sefleksibel G20. Walaupun kelebihan tersebut dapat menjadi peluang penyelesaian
masalah antar negara yang saling berkonflik, kita tidak boleh menutup mata
bahwa fleksibilitas pertemuan justru semakin memperkuat argumen yang mengatakan
bahwa G20 hanyalah sebuah ilusi agar ada pertemuan politik eksklusif di antara
negara-negara besar. Karena itu, para ahli mengatakan G20 sebenarnya adalah
G7+13, yakni pertemuan tujuh negara ekonomi terbesar yang mengundang 13 negara
lain untuk sekadar menjadi pengamat keputusan politik. Dan yang lebih
menariknya, G20 tidak pernah memiliki piagam untuk menguatkan apa yang
diputuskan dalam hasil-hasil rapatnya. Di satu sisi, ini semakin memperkuat
argumen bahwa G20 adalah sesuatu yang tidak begitu bermanfaat bagi banyak
pihak.
Secara keseluruhan, G20 telah mencapai beberapa keberhasilan dalam memecahkan masalah fiskal dan monter serta mempromosikan kerja sama ekonomi internasional. Untuk meningkatkan keefektifannya, G20 perlu menangani isu-isu seperti adanya kepentingan politik, ekslusivitas dan pembangunan konsensus di antara para anggotanya. Besar harapan pertemuan para pemimpin negara besar di Bali ini bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dunia. Terlebih lagi biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara G20 tidaklah sedikit. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Indonesia menganggarkan dana Rp674,8 miliar untuk G20. Harapannya uang sebanyak itu setidaknya menghasilkan sesuatu yang juga menguntungkan bagi Indonesia.
Refrensi:
https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx
https://www.cfr.org/backgrounder/what-does-g20-do#chapter-title-0-6
Penulis: Muh. Raf'al Nur
Editor: Rizky Maharani Hidayat Yamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar